Senin, 04 Februari 2008

dialog antar agama

Sekat-sekat Krusial Dialog Agama
Oleh Edy A Effendi
Staf Pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. (Wilhelm Schmidt, The Origin of Idea of God)


ARUS besar globalisasi, sering kali menjebak manusia pada upaya melupakan nilai-nilai kodrati yang hadir dari sang Maha Sublim. Nilai-nilai kodrati, yang didalamnya menghimpun ruang-ruang kesadaran pribadi manusia, seharusnya hadir bersamaan ruang gerak kehidupan manusia sehari-hari. Tapi fenomena luar, yang tumbuh berbarengan arus globalisasi, mendesak manusia untuk melupakan bahkan meminggirkan nilai-nilai kodrati itu. Dari sinilah globalisasi menggilas kesa-daran manusia untuk bercermin dan melihat diri kembali. Tapi benarkah arus besar globalisasi selalu menghadirkan nilai-nilai buruk bagi kesadaran manusia, kesadaran agamawan, pendeta, teolog, kiai dan kesadaran para pemeluk teguh nilai-nilai agama itu? Bukankah kesadaran pribadi manusia bisa dibentuk melalui berbagai ragam kesadaran, agar ia selalu mengenang nilai-nilai kodrati di tengah arus besar globalisasi.
Dalam konteks inilah, seharusnya nilai-nilai kodrati para pemeluk teguh agama itu, berjalan beriringan dengan fenomena global kehidupan nyata, yang didalamnya tumbuh semangat progresif untuk perbaikan hidup manusia. Atau mungkin di antara kita, akan sulit menciptakan ruang-ruang kesadaran baru melalui dialog bersama dalam ruang-ruang teologis, karena di dalamnya masih tertinggal aura mitos, bahwa manusia masa lampau kurang lebih sama dengan kita. Padahal, sebenarnya kehidupan sprititual mereka agak berbeda. Secara khusus menurut Johan-nes Sloek, manusia masa lalu mengembangkan dua cara berpikir, berbicara, dan memperoleh pengetahuan, dua cara yang oleh para ilmuwan disebut mitos dan logos (Lihat Devotional Lang-uage, 1996).
Mitos dalam terminologi Sloek, tidak bisa ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional. Man-faatnya lebih bersifat intuitif. Ia serupa dengan seni, musik, puisi ataupun pahatan. Mitos hanya menjadi kenyataan jika ia dipraktikkan dalam sekte, ritual, dan upacara-upacara keagamaan dengan maksud menimbulkan nuansa estetik kepada para pengikutnya, menimibulkan nuansa suci sehingga mereka mampu mendapatkan tingkat eksistensi yang lebih dalam. Mitos dan sekte begitu tak terpisahkan, sehingga muncul perdebatan akademis tentang mana yang muncul duluan: narasi mitologis ataukah ritualnya. Itulah sebabnya Karen Armstrong, melihat mitos sangat terkait erat dengan mistisisme, sebuah jalan menelusuri kejiwaan melalui penggunaan aturan-aturan terfokus yang terstruktur (aturan-aturan yang berkembang di semua kebudayaan sebagai alat untuk meraih hikmat intuitif). Mitos itu akan menjadi abstrak dan berada di luar jangkauan kita. Ini bisa disamakan dengan notasi musik yang tetap tidak bisa dimengerti bagi kebanyakan kita, sehingga notasi perlu ditafsirkan secara instrumental agar kita dapat menikmati keindahannya.
Pada titik inilah, dialog antara agama, seperti halnya upaya memahami notasi musik, susah diwujudkan. Karena para pemeluk agama, sering dibingkai aura mitos; bahwa agama yang mereka peluk, adalah wujud kebenaran sejati. Para pemeluk teguh agama itu, sering kali melihat agama mereka sendiri menjadi sumber kebenaran dan menengok agama lain sebagai bingkai kesesatan. Maka dialog-dialog agama yang sering kali hadir dalam konstelasi kehidupan bangsa Indonesia, tak ubahnya sebuah dialog yang hanya masuk dalam tataran permukaan. Ia tak mampu masuk dalam ruang-ruang teologis yang mampu membongkar substansi dari sebuah teks.
Ruang-ruang teologis ini menjadi perlu dikaji karena perbedaan tafsir terhadap suatu teks, seperti keberadaan Isa al-Masih atau Yesus Kristus, dan soal monoteisme, menjadi perbedaan substansial dari dua agama terbesar yang bersemayam di ranah Indonesia: Islam dan Kristen. Jika ruang-ruang teologis ini dijamah oleh para penganjur dialog antara agama, ia akan membuka wacana baru dalam spektrum dialog antar agama. Sebuah spektrum dialog yang didalamnya dirimbuni iklim dialogis dengan mengusung argumentasi tekstual dan mencoba membongkar tradisi dialog agama yang hanya menyuguhkan isu-isu toleransi dan sikap keberagamaan antar pemeluk agama. Sayangnya, para pemuja dialog antar agama, tak mau masuk dalam wilayah teologis ini karena dianggap akan merusak relasi keberagamaan di antara mereka. Padahal jika dialog antara agama masuk dalam traktat teo-logis dengan argumentasi ilmiah, toh ia akan menjadi model baru dalam diskusi-diskusi di ruang terbuka.

Sekat-sekat dialog
Bagi John F Haught, Guru Besar Teologi Universitas Georgetown, AS, baik catatan-catatan sejarah maupun pertimbangan-pertimbangan ilmiah filosofis, keduanya tampak memperkuat keputusan yang serba kabur itu: keputusan perihal dialog agama dengan berbagai sandaran ilmiah. Dari segi sejarah, beberapa contoh yang sudah jelas: penyiksaaan oleh gereja terhadap Galileo pada abad ke-17 dan tersebarnya agama serta teologi yang antiteori evolusi Darwin pada abad ke-19 dan 20. Lambatnya pemikiran keagamaan (teologi) menerima gagasan-gagasan ilmiah seperti itu, dan fakta bahwa banyak orang yang beriman kepada Tuhan masih membenci mereka, memberi kesan bahwa agama tidak akan pernah bi-sa akur dengan kajian-kajina ilmiah. Oleh karena ada begitu banyak orang yang beriman ke-pada Tuhan menolak temuan-temuan astronomi, fisika, dan biologi, apakah kemudian meng-herangkan bahwa agama secara inheren memang memiliki sifat bermusuhan dengan sains, dengan ilmu pengetahuan, dengan kajian-kajian ilmiah?
Haught mencatat masih ada hal yang lebih penting dari pertimbangan-pertimbangan historis ini, yaitu kendala-kendala filosofis (khususnya epistemologis) yang diberikan oleh agama dan teologis terhadap kaum skeptik ilmiah. Masalah utama di sini, ialah bahwa pemi-kiran-pemikiran keagamaan tampaknya tidak bisa diuji berdasarkan pengalaman. Rupanya, mereka mau mengecualikan diri dari ketatnya pengujian oleh publik, padahal kajian-kajian ilmiah (sains) selalu menguji pemikiran-pemikiran melalui pengujian terbuka. Kalau penelitian empirik membuktikan bahwa sebuah hipotesis ilmiah itu ternyata keliru, sains dengan suka rela membuangnya dan mencoba mencari cara lain dengan tetap patuh pada proses pengujian yang sama ketat. Inilah pertanyaannya dapatkah anda melakukan hal yang sama dengan ajaran-ajaran agama? Bukankah mereka menghindari semua percobaan untuk membuktikan kebenaran mereka berdasarkan pengamatan? Bukankah kaum teis, misalnya, terus saja percaya kepada Tuhan kendati mereka menyaksikan segala hal ihwal di dunia ini, termasuk penderitaan dan kejahatan? Bukankah Yudaisme misalnya, berkata tentang Tuhan sebagai berikut, ”Sekalipun Dia membunuhku, aku akan tetap percaya pada-Nya?” Bukankah karena itu semua interpretasi religius terhadap dunia, pada dasarnya, tidak terpengaruh oleh pandangan kontradiktif terhadap agama itu sendiri, sesuatu yang kita sungguh-sungguh alami?
Dari jejak sejarah itu, tampak susah menelusuri dialog agama dengan kajian-kajian ilmiah dan membongkar ruang-ruang teologis yang menjadi perbedaan krusial dari berbagai agama yang ada. Perbedaan-perbedaan krusial yang bernuansa teologis ini seharusnya menjadi teks terbuka untuk didialogkan sebagai wilayah kajian teks. Karena di tepi lain, khususnya di wilayah fiksi, pembongkaran terhadap teks normatif agama sudah dikerjakan oleh sastrawan. Tengoklah novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, yang mampu membongkar sebuah kebenaran yang disembunyikan rapat-rapat selama beradad-abad ini. Novel yang melahirkan reaksi keras dari Vatikan ini, bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pemuja dialog antara agama, bahwa teks-teks krusial dalam wilayah agama bisa dilucuti dengan pendekatan ilmiah atau kajian serius yang disertai riset dan pendataan yang me-madai.
Memberi beberapa interpretasi dan gambaran-gambaran filosofis perihal perten-tangan antara agama dan kajian-kajian ilmiah dan mencoba memberi peta yang jelas antara dua kutub itu, sejatinya sebagai upaya memperlihatkan keterbukaan yang sebanding dalam wilayah dialog agama. Kaum skeptik ilmiah (yakni orang-orang yang menolak agama atas nama ilmu pengetahuan) menyatakan bahwa agama tidak mempunyai keberanian yang kuat seperti sains. Hipotesis Tuhan, misalnya, tampaknya benar-benar melampaui falsifikasi se-hingga tidak bisa diterima di hadapan pengadilan sains. Dapatkah anda membayangkan suatu situasi dan pengalaman yang kiranya bisa menuntut anda menyangkal keberadaan Tuhan? Kalau ternyata tidak bisa, ide Tuhan itu pasti tidak dapat difalsifikasi—dan karena itu tidak usah dianggap serius.
Pernyatan-pernyataan ini memang terasa ekstrim, tapi dalam kerangka kerja ilmiah, mempersoalkan hubungan agama dan ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran dalam soal dialog antar agama, bukanlah persoalan tabu. Pernyataan-pernyataan ini berkait erat dengan upaya untuk mempertegas hubungan sinergis antara keduanya. Jadi sebenarnya antara agama dan kajian-kajian ilmiah, memiliki potensi untuk saling mendukung. Hanya saja perbedaan yang nyata, ilmu pengetahuan, tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai yang benar. Ia harus diuji secara ilmiah dan penelitaan objektif untuk melihat sebuah kebenaran.
Sementara agama, bersandar pada asumsi-asumsi keyakinan. Agama bertumpu pada imajinasi liar yang memiliki keterkaitan dengan iman, sementara sains atau ilmu pengetahuan bertumpu pada pada fakta yang diamati. Agama merujuk pada emosi, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains atau ilmu pengetahuan, berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah dan objektif.
Pada titik inilah, dialog agama yang bersumber pada kerja ilmiah, tidak bisa diwujud-kan. Karena dialog yang selama ini bergulir di pelataran diskusi antar agama, sering kali dibingkai basa-basi, dengan bertabur toleransi dan tidak mampu menohok pada sektor-sektor riil, yakni perihal perbedaan pemahaman dogmatis antar berbagai agama. Padahal di situlah letak konlfik yang bertebaran di seluruh pelosok Tanah Air selama ini; sebuah konflik yang dibingkai aura primordialisme; perbedaan terhadap pemahaman ketuhanan dan hal-hal yang lebih subtil ketika berhadapan dengan teks-teks agama. Jika dialog agama hanya menyentuh permukaan, penuh basa-basi dan semangat pseudo toleransi dan tidak mampu masuk ke dalam wilayah-wilayah teologis, lebih baik kita berdiam diri di rumah: bersembunyi di balik tirai agama sambil mengenang banjir yang menggenang di teras rumah kita. Bukankah lebih bijak mendialogkan banjir yang menyergap rumah kita ketimbang bicara agama tanpa kejujuran?

Tidak ada komentar: