Jumat, 08 Februari 2008

profil kota

Profil Kota

Proses terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang

Pembangunan Kota Administratif Tangerang secara makro berpijak pada kebijaksanaan pembangunan berdasarkan prioritas tahapan Repelita dimulai sejak Pelita I sampai dengan Pelita V. Selain bertitik tolak dari prioritas tersebut, ada beberapa faktor pendorong dan faktor penarik diantaranya berdasarkan undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 Kota Tangerang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten, pesatnya pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan dapat memperbaiki kualitas kehidupan, masih banyak tersedianya sumber daya alam sehingga dapat menarik investor yang dapat menyerap lapangan kerja baru.

Sedangkan dalam lingkup Jabotabek sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976, Tangerang termasuk wilayah pengembangan Jabotabek yang dipersiapkan untuk mengurangi ledakan penduduk DKI Jakarta, mendorong kegiatan perdagangan dan industri yang berbatasan dengan DKI Jakarta, mengembangkan pusat-pusat pemukiman dan mengusahakan keserasian pembangunan antara DKI Jakarta dengan daerah yang berbatasan langsung.

Pertumbuhan penduduk Kota Administratif Tangerang melaju begitu tinggi. Hal ini terlihat pada data yang dituangkan dalam Rencana Umum Kota Tangerang (Perda Nomor 4 tahun 1985) Kota Ad-ministratif tangerang dapat menampung 850.000 jiwa. Menurut sensus tahun 1990 penduduk Kota Ad-ministratif Tangerang telah mencapai 921.848 jiwa.

Lonjakan jumlah penduduk disebabkan terutama karena kedudukan dan peranan Kota Tangerang sebagai daerah penyangga DKI Jakarta (hinterland city). Sebagai konsekuensinya, Kota Administratif Tangerang menjadi konsentrasi wilayah pemukiman penduduk dan menjadi tempat kegiatan perdagangan terutama pada sektor industri. Perkembangan sektor perdagangan dan industri di kawasan ini memancing derasnya arus imigrasi sirkuler penduduk. Dilihat dari pertumbuhan penduduk dan dibandingkan dengan jumlah penduduk beberapa Kotamadya di Jawa Barat, Kota Administratif Tangerang jauh lebih tinggi.

Perkembangan perekonomian pada tahun 1989/1990, nilai investasi dari PMA dan PMDN mencapai US $ 1.191.585.352,00 dan nilai Non Fasilitas Industi Kecil Formal berjumlah Rp. 12.860.551.553,99. Perkembangan tersebut didorong pula oleh perkembangan wilayah yakni dengan adanya Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta dan Jalan Bebas Hambatan (Jalan Toll, Access Road).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Administratif Tangerang pada tahun 1991/1992 mencapai Rp. 7.066.500.536,00 dan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp. 3.284.847.747,74 serta PBB kawasan bandara Soekarno-Hatta sebesar Rp. 1.900.000.000,00.

Melihat indikator pertumbuhan kota dengan faktor pengaruh yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor), menurut pengelolaan serta pengendalian urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang lebih cepat dan terarah agar pelayanan masyarakat berjalan lebih baik. Dalam hal ini seyogyanya Kota Administratif Tangerang dikembangkan menjadi daerah otonom.

banjir kota

Titik Banjir di Kota Tangerang Makin Meluas
Sabtu, 9 Februari 2008 | 03:12 WIB
TANGERANG, KOMPAS - Titik genangan dan banjir di Kota Tangerang saat hujan deras turun awal Februari 2008 makin bertambah. Titik genangan dan banjir ini berada di 11 kecamatan dari 13 kecamatan yang ada di Kota Tangerang.
Kepala Seksi Sosial Budaya Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangerang Anton Riyanto kepada Kompas, Jumat (8/2), mengungkapkan, meluasnya titik genangan dan banjir di Kota Tangerang mencemaskan, mengingat hujan turun hanya seharian, tetapi dampaknya sangat besar.
Kondisi cuaca buruk masih akan menyelimuti Tangerang. Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Tangerang mengimbau masyarakat untuk selalu waspada.
Kepala Bappeda Kota Tangerang Dadang Durachman mengatakan, banjir di Kota Tangerang cenderung makin bertambah setiap tahunnya, baik lokasi, ketinggian, waktu, maupun luas genangan.
Tahun 2007, banjir merendam 63 lokasi dengan genangan seluas 518,5 hektar dan ketinggian sampai 300 sentimeter. Lama waktu terendam 49 jam sampai satu minggu.
”Banjir Februari 2007 akibat hujan deras yang turun 2-9 Februari, sedangkan banjir Februari 2008 akibat hujan turun seharian pada 1 Februari. Inilah bedanya. Bayangkan, hujan seharian saja sudah berdampak sama,” kata Dadang Durachman.
Sebelas kecamatan yang terendam air pada 1 Februari 2008 adalah Batuceper, Jatiuwung, Cipondoh, Tangerang, Pinang, Karang Tengah, Ciledug, Cibodas, Karawaci, Periuk, dan Benda. Meluasnya genangan dan banjir di Kota Tangerang, menurut Dadang, mencerminkan kondisi lingkungan kota yang semakin parah.
Penyebab banjir
Penyebab banjir di Kota Tangerang, selain akibat curah hujan tinggi, juga adanya penyimpangan pemanfaatan lahan di daerah hulu dan tengah wilayah daerah aliran sungai (DAS).
Selain itu, terjadi pengurangan kedalaman situ akibat alih fungsi situ dan sedimentasi. Juga pendangkalan sungai akibat sedimentasi dan sampah serta perubahan fungsi saluran irigasi menjadi saluran drainase.
Sebanyak 50 persen sungai dan saluran pembuangan di Kota Tangerang disebutkan mengalami sedimentasi. Sungai yang melintas di Kota Tangerang tak mampu menampung debit air pada musim hujan. Dengan demikian, dibutuhkan normalisasi sungai.
Dadang juga menyebutkan, meluasnya banjir di berbagai wilayah di Kota Tangerang akibat ketidakjelasan batasan kewenangan pengelolaan DAS antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota. ”Terdapat dua pintu air yang rusak serta bocor dan itu wewenang pemerintah pusat,” katanya.
Meluasnya banjir juga karena tidak terintegrasinya rencana tata ruang wilayah (RTRW) di Jabodetabekjur.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab, kata Dadang, adalah adanya penyalahgunaan izin pengelolaan situ dan pemanfaatan situ ilegal. Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kelestarian lingkungan.
Bappeda Kota Tangerang mengusulkan agar pemerintah pusat dan provinsi merehabilitasi 33 situ di kabupaten dan 5 situ di Kota Tangerang serta melakukan normalisasi 16 sungai di Banten.
Catatan Bappeda, terjadi pengurangan jumlah situ dari sembilan menjadi enam. ”Penyusutan luas areal situ mencapai 41 persen, dari 257 hektar kini tinggal 152 hektar,” ujar Dadang.
Situ yang masih ada di Kota Tangerang saat ini adalah Situ Cipondoh, Situ Gede, Situ Cangkring, Situ Bulakan, Situ Kunciran, dan Situ Bojong. Menurut pengamatan Kompas, dari enam situ, hanya dua yang masih terawat, yaitu Cipondoh dan Gede. (KSP)
 Sumber Harian Umum Kompas

Senin, 04 Februari 2008

abu Zayd

Abu Zayd Coba Membongkar Teks Agama
Silang pendapat justru terjadi pada apa yang dimaksud dengan agama itu sendiri. Lebih jelasnya: apakah yang dimaksud agama sebagaimana yang diusulkan dan difungsikan secara ideologis dan oportunis --baik oleh mereka yang berhaluan Kanan ataupun Kiri-- atau agama pascaanalisis, pemahaman, dan penakwilan yang ilmiah, sehingga yang menonjol darinya adalah unsur penggerak kemajuan, keadilan, dan kebebasan
***

KEHADIRAN Nasr Hamid Abu Zayd, lelaki kelahiran Tantra, Mesir, 7 Oktober 1943, dalam konstelasi pemikiran Islam, khususnya di ranah Mesir, mengundang reaksi cukup keras dari publik Mesir.

Abu Zayd, begitu ia disapa, dalam batas-batas tertentu, mampu menghidupkan kembali dinamika pemikiran Islam, yang sering kali terjebak pada mono tafsir, Abu Zayd, datang dan membuka ruang-ruang tafsir baru dalam melihat dan mencermati Islam.

Tentu saja, kondisi ini dipicu oleh dua kecenderungan utama wacana Islam yang berkembang di Mesir. Yakni kecenderungan islamis (Islamiyyun), baik yang masuk kubu radikal maupun kubu moderat, dan kecenderungan sekularis ('almaniyyun), yang berdiri dari berbagai kelompok mulai yang sosialis hingga liberal. Dari sinilah, Abu Zayd hadir, untuk membelah ruang-ruang tafsir lain ketika berhadapan dengan teks-teks Islam.

Atas dasar membuka ruang-ruang baru ketika berhadapan teks-teks Islam itulah, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam dan Pluralism (ICIP), menggelar Workshop Kritik Wacana Agama bersama Nasr Hamid Abu Zayd, di Hotel Millenium, 28-29 Agustus.

JIL yang ditukangi Ulil Abshar-Abdalla dan ICIP yang dikomandani M Syafi'i Anwar, merasa perlu mengundang Abu Zayd untuk melihat kembali silang pendapat tentang pentingnya peran agama --bukan hanya Islam-- dalam kehidupan umat beragama. Untuk itu, bagi JIL dan ICIP, betapapun peliknya persoalan agama, dia tetap harus menjadi unsur yang asasi dalam pelbagai proyek kebangkitan.

Silang pendapat justru terjadi pada apa yang dimaksud dengan agama itu sendiri. Lebih jelasnya: apakah yang dimaksud agama sebagaimana yang diusulkan dan difungsikan secara ideologis dan oportunis --baik oleh mereka yang berhaluan Kanan ataupun Kiri-- atau agama pascaanalisis, pemahaman, dan penakwilan yang ilmiah, sehingga yang menonjol darinya adalah unsur penggerak kemajuan, keadilan, dan kebebasan?

Bertolak dari pelbagai pertanyaan seperti itulah kritik wacana agama kemudian dimungkinkan. Artinya dalam perspektif kawan-kawan JIL dan ICIP, pelbagai pertanyaan seputar titik tolak sebuah wacana, instrumen yang dipergunakan, dan kemungkinan implikasi sosial-politik-keagamaannya, menjadi sangat penting dalam proses kritik. Kepentingan-kepentingan yang bersembunyi di balik sebuah wacana juga menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh.

Dan salah satu penggiat kegiatan kritik atas wacana agama, yang menulis buku Naqdul al-Khitab Diny dan menjadikannya sebagai concern area pemikirannya, tak lain adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan mengacu pada dinamika wacana agama yang berkembang di negara asalnya, Mesir, Abu Zayd berusaha melakukan kajian kritis dengan perangkat metodologi yang dia susun sendiri. Melalui salah satu bukunya, Naqdul al-Khitab Diny (Kritik Wacana Agama), Abu Zayd merekam secara metodologis dan apik pengalaman dirinya dalam melakukan kritik atas wacana agama. Untuk itu, JIL dan ICIP merasa perlu, menggelar Workshop Kritik Wacana Agama, untuk berdialog dengan Abu Zayd secara langsung seputar kritik atas pelbagai wacana agama Islam kontemporer.

Abu Zayd, lelaki yang pada 16 Desember 1993, dibatalkan pengangkatan sebagai Guru Besar Universitas Kairo, karena dianggap telah keluar dari mainstream pemikiran Islam, dan terutama, karena ia dianggap menghina Imam Syafi'i. Waktu itu, Abu Zayd membawa dua buku karangannya, al-Imam as-Syafi'i wa Ta'sis al-Aidulujiyat (Imam Syafi'i, Kemodernan, dan Ekletisisme

dan Naqdul al-Khitab Diny (Kritik Wacana Agama).

Abu Zayd menilai Imam Sayfi'i telah menempatkan secara sepihak budaya Quraisy sebagai sentral pemikiran terhadap Alquran. Ia menilai Imam Syafi'i telah membakukan model pemaknaan Alquran, teorisasi sunnah sebagai tasyri' yang otoritatif dan memperluas sunnah sampai dengan ijma, tapi menolak qiyas.

"Akibatnya, tak bisa lagi dibedakan mana teks yang primer dan sekunder. Ini memperlihatkan watak moderat Syafi'i hanya semu, karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy," ungkap Abu Zayd kepada Media, kemarin.

Sebenarnya Abu Zayd mencoba berpijak pada dua sasaran utama ketika berhadapan dengan teks-teks Quran. Pertama, ia mencoba meletakkan status tekstualitas Alquran. Kedua, untuk menentukan suatu pemahaman yang objektif terhadap pemahaman teks tersebut. Abu Zayd memandang dua sasaran itu, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; satu sisi dari sekeping dua mata uang.

Di sisi lain, dalam pandangan Zuhairi Misrawi, dari JIL, upaya pembaruan Islam dikerjakan para pembaru muslim, yang berani menyentuh wilayah Alquran. Artinya, para pembaru itu, ketika berhadapan dengan teks yang disucikan tidak ada pilihan lain: menerima dan mengamininya. Dan pandangan seperti ini mendominasi kalangan Asy'ariyyah. Pandangan seperti itu, menurut Abu Zayd, urai Misrawi, adalah pandangan terbelakang, konservatif, Karenanya perlu ditentang habis-habisan.

Bagi Abu Zayd, lanjut Misrawi, teks Quran adalah menjadi wahyu yang harus disentuh dengan pelbagai pembacaan. Salah satunya yaitu memahami Alquran sebagai teks yang disampaikan dalam bentuk bahasa. Bila Alquran sebagai bahasa, semestinya terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan konteks.

Antarteks dan konteks inilah yang dipersoalkan Amin Abdullah, Rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang hadir sebagai komentator Abu Zayd. Bagi Amin, pembaruan pemikiran Islam harus melihat teks dan konteks, agar mampu memberi kontribusi positif dan memiliki aktualisasi dengan persoalan kekinian. Dalam arus sejarah Islam, teologi tidak pernah bersentuhan dan memikirkan konteks, sehingga terjadi distorsi di sana sini. Itulah sebabnya, lanjut Amin, untuk melawan sakralisasi keagamaan, harus dikembangkan al-qiraah al muntijah (reading productively) terhadap Alquran dan wacana Islam. "Untuk itu, harus ada penjelajahan kembali, antara teks dan konteks dalam perspektif penafsiran dari aspek bahasa (hermeunetik)," ungkap Amin.

Baik Goenawan Mohamad, Haidar Bagir, Amin Abdullah, yang hadir sebagai komentator pemikiran Abu Zayd, secara tidak langsung sepakat dengan kerja yang digulirkan Abu Zayd ketika berhadapan dengan kritik teks. Tentu saja, mereka sepakat dengan Abu Zayd, lelaki penyuka bacaan-bacaan sastra ini, bahwa perlu pendekatan hermeneutik sebagai metoda kritik kebenaran agama yang paling tepat. * Edy A Effendi

Tulisan ini dimuat dari Harian Media Indonesia, Senin 30 Agustus 2004

dialog antar agama

Sekat-sekat Krusial Dialog Agama
Oleh Edy A Effendi
Staf Pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. (Wilhelm Schmidt, The Origin of Idea of God)


ARUS besar globalisasi, sering kali menjebak manusia pada upaya melupakan nilai-nilai kodrati yang hadir dari sang Maha Sublim. Nilai-nilai kodrati, yang didalamnya menghimpun ruang-ruang kesadaran pribadi manusia, seharusnya hadir bersamaan ruang gerak kehidupan manusia sehari-hari. Tapi fenomena luar, yang tumbuh berbarengan arus globalisasi, mendesak manusia untuk melupakan bahkan meminggirkan nilai-nilai kodrati itu. Dari sinilah globalisasi menggilas kesa-daran manusia untuk bercermin dan melihat diri kembali. Tapi benarkah arus besar globalisasi selalu menghadirkan nilai-nilai buruk bagi kesadaran manusia, kesadaran agamawan, pendeta, teolog, kiai dan kesadaran para pemeluk teguh nilai-nilai agama itu? Bukankah kesadaran pribadi manusia bisa dibentuk melalui berbagai ragam kesadaran, agar ia selalu mengenang nilai-nilai kodrati di tengah arus besar globalisasi.
Dalam konteks inilah, seharusnya nilai-nilai kodrati para pemeluk teguh agama itu, berjalan beriringan dengan fenomena global kehidupan nyata, yang didalamnya tumbuh semangat progresif untuk perbaikan hidup manusia. Atau mungkin di antara kita, akan sulit menciptakan ruang-ruang kesadaran baru melalui dialog bersama dalam ruang-ruang teologis, karena di dalamnya masih tertinggal aura mitos, bahwa manusia masa lampau kurang lebih sama dengan kita. Padahal, sebenarnya kehidupan sprititual mereka agak berbeda. Secara khusus menurut Johan-nes Sloek, manusia masa lalu mengembangkan dua cara berpikir, berbicara, dan memperoleh pengetahuan, dua cara yang oleh para ilmuwan disebut mitos dan logos (Lihat Devotional Lang-uage, 1996).
Mitos dalam terminologi Sloek, tidak bisa ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional. Man-faatnya lebih bersifat intuitif. Ia serupa dengan seni, musik, puisi ataupun pahatan. Mitos hanya menjadi kenyataan jika ia dipraktikkan dalam sekte, ritual, dan upacara-upacara keagamaan dengan maksud menimbulkan nuansa estetik kepada para pengikutnya, menimibulkan nuansa suci sehingga mereka mampu mendapatkan tingkat eksistensi yang lebih dalam. Mitos dan sekte begitu tak terpisahkan, sehingga muncul perdebatan akademis tentang mana yang muncul duluan: narasi mitologis ataukah ritualnya. Itulah sebabnya Karen Armstrong, melihat mitos sangat terkait erat dengan mistisisme, sebuah jalan menelusuri kejiwaan melalui penggunaan aturan-aturan terfokus yang terstruktur (aturan-aturan yang berkembang di semua kebudayaan sebagai alat untuk meraih hikmat intuitif). Mitos itu akan menjadi abstrak dan berada di luar jangkauan kita. Ini bisa disamakan dengan notasi musik yang tetap tidak bisa dimengerti bagi kebanyakan kita, sehingga notasi perlu ditafsirkan secara instrumental agar kita dapat menikmati keindahannya.
Pada titik inilah, dialog antara agama, seperti halnya upaya memahami notasi musik, susah diwujudkan. Karena para pemeluk agama, sering dibingkai aura mitos; bahwa agama yang mereka peluk, adalah wujud kebenaran sejati. Para pemeluk teguh agama itu, sering kali melihat agama mereka sendiri menjadi sumber kebenaran dan menengok agama lain sebagai bingkai kesesatan. Maka dialog-dialog agama yang sering kali hadir dalam konstelasi kehidupan bangsa Indonesia, tak ubahnya sebuah dialog yang hanya masuk dalam tataran permukaan. Ia tak mampu masuk dalam ruang-ruang teologis yang mampu membongkar substansi dari sebuah teks.
Ruang-ruang teologis ini menjadi perlu dikaji karena perbedaan tafsir terhadap suatu teks, seperti keberadaan Isa al-Masih atau Yesus Kristus, dan soal monoteisme, menjadi perbedaan substansial dari dua agama terbesar yang bersemayam di ranah Indonesia: Islam dan Kristen. Jika ruang-ruang teologis ini dijamah oleh para penganjur dialog antara agama, ia akan membuka wacana baru dalam spektrum dialog antar agama. Sebuah spektrum dialog yang didalamnya dirimbuni iklim dialogis dengan mengusung argumentasi tekstual dan mencoba membongkar tradisi dialog agama yang hanya menyuguhkan isu-isu toleransi dan sikap keberagamaan antar pemeluk agama. Sayangnya, para pemuja dialog antar agama, tak mau masuk dalam wilayah teologis ini karena dianggap akan merusak relasi keberagamaan di antara mereka. Padahal jika dialog antara agama masuk dalam traktat teo-logis dengan argumentasi ilmiah, toh ia akan menjadi model baru dalam diskusi-diskusi di ruang terbuka.

Sekat-sekat dialog
Bagi John F Haught, Guru Besar Teologi Universitas Georgetown, AS, baik catatan-catatan sejarah maupun pertimbangan-pertimbangan ilmiah filosofis, keduanya tampak memperkuat keputusan yang serba kabur itu: keputusan perihal dialog agama dengan berbagai sandaran ilmiah. Dari segi sejarah, beberapa contoh yang sudah jelas: penyiksaaan oleh gereja terhadap Galileo pada abad ke-17 dan tersebarnya agama serta teologi yang antiteori evolusi Darwin pada abad ke-19 dan 20. Lambatnya pemikiran keagamaan (teologi) menerima gagasan-gagasan ilmiah seperti itu, dan fakta bahwa banyak orang yang beriman kepada Tuhan masih membenci mereka, memberi kesan bahwa agama tidak akan pernah bi-sa akur dengan kajian-kajina ilmiah. Oleh karena ada begitu banyak orang yang beriman ke-pada Tuhan menolak temuan-temuan astronomi, fisika, dan biologi, apakah kemudian meng-herangkan bahwa agama secara inheren memang memiliki sifat bermusuhan dengan sains, dengan ilmu pengetahuan, dengan kajian-kajian ilmiah?
Haught mencatat masih ada hal yang lebih penting dari pertimbangan-pertimbangan historis ini, yaitu kendala-kendala filosofis (khususnya epistemologis) yang diberikan oleh agama dan teologis terhadap kaum skeptik ilmiah. Masalah utama di sini, ialah bahwa pemi-kiran-pemikiran keagamaan tampaknya tidak bisa diuji berdasarkan pengalaman. Rupanya, mereka mau mengecualikan diri dari ketatnya pengujian oleh publik, padahal kajian-kajian ilmiah (sains) selalu menguji pemikiran-pemikiran melalui pengujian terbuka. Kalau penelitian empirik membuktikan bahwa sebuah hipotesis ilmiah itu ternyata keliru, sains dengan suka rela membuangnya dan mencoba mencari cara lain dengan tetap patuh pada proses pengujian yang sama ketat. Inilah pertanyaannya dapatkah anda melakukan hal yang sama dengan ajaran-ajaran agama? Bukankah mereka menghindari semua percobaan untuk membuktikan kebenaran mereka berdasarkan pengamatan? Bukankah kaum teis, misalnya, terus saja percaya kepada Tuhan kendati mereka menyaksikan segala hal ihwal di dunia ini, termasuk penderitaan dan kejahatan? Bukankah Yudaisme misalnya, berkata tentang Tuhan sebagai berikut, ”Sekalipun Dia membunuhku, aku akan tetap percaya pada-Nya?” Bukankah karena itu semua interpretasi religius terhadap dunia, pada dasarnya, tidak terpengaruh oleh pandangan kontradiktif terhadap agama itu sendiri, sesuatu yang kita sungguh-sungguh alami?
Dari jejak sejarah itu, tampak susah menelusuri dialog agama dengan kajian-kajian ilmiah dan membongkar ruang-ruang teologis yang menjadi perbedaan krusial dari berbagai agama yang ada. Perbedaan-perbedaan krusial yang bernuansa teologis ini seharusnya menjadi teks terbuka untuk didialogkan sebagai wilayah kajian teks. Karena di tepi lain, khususnya di wilayah fiksi, pembongkaran terhadap teks normatif agama sudah dikerjakan oleh sastrawan. Tengoklah novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, yang mampu membongkar sebuah kebenaran yang disembunyikan rapat-rapat selama beradad-abad ini. Novel yang melahirkan reaksi keras dari Vatikan ini, bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pemuja dialog antara agama, bahwa teks-teks krusial dalam wilayah agama bisa dilucuti dengan pendekatan ilmiah atau kajian serius yang disertai riset dan pendataan yang me-madai.
Memberi beberapa interpretasi dan gambaran-gambaran filosofis perihal perten-tangan antara agama dan kajian-kajian ilmiah dan mencoba memberi peta yang jelas antara dua kutub itu, sejatinya sebagai upaya memperlihatkan keterbukaan yang sebanding dalam wilayah dialog agama. Kaum skeptik ilmiah (yakni orang-orang yang menolak agama atas nama ilmu pengetahuan) menyatakan bahwa agama tidak mempunyai keberanian yang kuat seperti sains. Hipotesis Tuhan, misalnya, tampaknya benar-benar melampaui falsifikasi se-hingga tidak bisa diterima di hadapan pengadilan sains. Dapatkah anda membayangkan suatu situasi dan pengalaman yang kiranya bisa menuntut anda menyangkal keberadaan Tuhan? Kalau ternyata tidak bisa, ide Tuhan itu pasti tidak dapat difalsifikasi—dan karena itu tidak usah dianggap serius.
Pernyatan-pernyataan ini memang terasa ekstrim, tapi dalam kerangka kerja ilmiah, mempersoalkan hubungan agama dan ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran dalam soal dialog antar agama, bukanlah persoalan tabu. Pernyataan-pernyataan ini berkait erat dengan upaya untuk mempertegas hubungan sinergis antara keduanya. Jadi sebenarnya antara agama dan kajian-kajian ilmiah, memiliki potensi untuk saling mendukung. Hanya saja perbedaan yang nyata, ilmu pengetahuan, tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai yang benar. Ia harus diuji secara ilmiah dan penelitaan objektif untuk melihat sebuah kebenaran.
Sementara agama, bersandar pada asumsi-asumsi keyakinan. Agama bertumpu pada imajinasi liar yang memiliki keterkaitan dengan iman, sementara sains atau ilmu pengetahuan bertumpu pada pada fakta yang diamati. Agama merujuk pada emosi, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains atau ilmu pengetahuan, berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah dan objektif.
Pada titik inilah, dialog agama yang bersumber pada kerja ilmiah, tidak bisa diwujud-kan. Karena dialog yang selama ini bergulir di pelataran diskusi antar agama, sering kali dibingkai basa-basi, dengan bertabur toleransi dan tidak mampu menohok pada sektor-sektor riil, yakni perihal perbedaan pemahaman dogmatis antar berbagai agama. Padahal di situlah letak konlfik yang bertebaran di seluruh pelosok Tanah Air selama ini; sebuah konflik yang dibingkai aura primordialisme; perbedaan terhadap pemahaman ketuhanan dan hal-hal yang lebih subtil ketika berhadapan dengan teks-teks agama. Jika dialog agama hanya menyentuh permukaan, penuh basa-basi dan semangat pseudo toleransi dan tidak mampu masuk ke dalam wilayah-wilayah teologis, lebih baik kita berdiam diri di rumah: bersembunyi di balik tirai agama sambil mengenang banjir yang menggenang di teras rumah kita. Bukankah lebih bijak mendialogkan banjir yang menyergap rumah kita ketimbang bicara agama tanpa kejujuran?

sastra sejarah

Sastra Sejarah
Kawinnya Bahasa dan Pikiran

Mempersoalkan sastra yang bersandar pada peristiwa-peristiwa sejarah selalu menarik untuk dibincangkan. Sastra yang bersandar pada sejarah tak ubahnya mengungkap peristiwa-peristiwa kelam dalam realitas kekinian, yang dikemas dalam dunia fiksi.

Seperti kita tahu, alur cerita-cerita fiksi yang bersandar pada persoalan sejarah yang disodorkan ke wilayah publik setidak-tidaknya ikut serta merekonstruksi peristiwa sejarah yang terjadi di ranah publik.

Kritikus George Lukacs pernah mensinyalir, sastra sejarah harus mampu menghidupkan masa silam; masa silam harus dekat kepada realitas kita dan kita dapat menyelami kenyataan yang sebenarnya terjadi pada masa silam. Pernyataan George Lukacs mengundang beberapa pertanyaan mendasar dan layak dijawab.

Pertanyaan itu merujuk pada klaim, apakah teks-teks sejarah masih menyimpan ruang-ruang kosong, yang memiliki berbagai ragam dimensi kebenaran sehingga bisa dihibahkan dalam teks-teks fiksi? Kenapa hingga kini masih saja sering terdengar perdebatan antara pengetahuan sejarah dan realitas sejarah yang sejatinya memiliki perbedaan yang cukup jauh?

Penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah dua hal yang berbeda.

Perihal posisi penulisan sejarah dan peristiwa sejarah, dan memeriksa kembali kegemparan perdebatan intelektual pada abad ke-19, menjadi sangat menarik jika kita mengikuti pikiran yang dikembangkan Immanuel Wallerstein.

Perdebatan intelektual pada abad itu menjurus pada keretakan epistemologis. Antara pendekatan nomotetik yang berdasarkan pada hukum-hukum obyektif dan universal yang dikembangkan dalam ilmu alam, dengan pendekatan idiosinkretik, yang disandarkan pada keunikan masing-masing kejadian sejarah.

Wallerstein, sejarawan dan Direktur Braudel Center Binghamtom University, berdiri pada posisi "tengah" di antara gejolak "pertikaian epistemologis" itu.

Hukum alam dan kreativitas

Wallerstein ingin memperlihatkan ketidakpastian terhadap ilmu-ilmu alam, akibat dari ketidakpuasan teori-teori ilmiah yang lebih tua. Ini untuk menawarkan solusi-solusi yang masuk akal terhadap kesulitan-kesulitan yang muncul ketika para ilmuwan mencoba memecahkan fenomena yang jauh lebih kompleks. Ia mencoba melakukan pembenaran terhadap statement-nya dengan mengambil garis pikiran yang dikembangkan Ilya Progogine.

Menurut ilmuwan terakhir itu, ketika dunia disemarakkan dengan berbagai gejolak, maka dibutuhkan penjelasan yang lebih kompleks: sebuah dunia yang harus dideskripsikan secara agak berbeda. Dari sinilah secara sadar, Wallerstein ingin menawarkan solusi bahwa ilmu-ilmu sosial dapat menjadi "kendaraan" untuk memecahkan masalah realitas yang ada.

Kondisi semacam ini tidak berarti menafikan asumsi-asumsi yang telah dikembangkan para ilmuwan terdahulu—termasuk di dalamnya Newton. Tetapi, dalam batas-batas tertentu, sistem-sistem yang dikembangkan para ilmuwan, seperti sistem-sistem waktu yang reversibel (yang dapat dibalikkan), hanyalah merepresentasikan suatu segmen realitas yang khusus dan terbatas.

Dengan demikian, ilmu-ilmu alam membutuhkan keselarasan hukum-hukum alam yang cocok dengan gagasan tentang peristiwa, tentang sesuatu yang baru, dan tentu tentang kreativitas.

Di sisi lain, Wallerstein juga berdiri di pihak "komunitas" idiosinkretik dengan menawarkan perangkat-perangkat ilmu sosial.

Pendekatan yang diterapkan Wallerstein mencoba merekomendasi pendekatan historis yang sering kali "tertinggal" ketika memunguti beberapa peristiwa sejarah. Tampaknya Wallerstein ingin memperlihatkan beberapa tradisi ilmu sosial yang mampu menawarkan peralatan-peralatan spesifik untuk membangun "ilmu sosial historis", atau "ilmu sosial kritis".

Sejarah dan sosial

Sebenarnya perkawinan dan kerja sama ilmu sejarah dan ilmu sosial baru terjadi saat memasuki dekade 1960-an. Para sejarawan mulai mempertimbangkan apakah beberapa generalisasi yang diusahakan oleh para ilmuwan sosial nomitetis mungkin tidak membantu menjelaskan pemahaman mereka mengenai masa lalu. Maka perubahan-perubahan fundamental di dalam disiplin ilmu sejarah terus-menerus mendapat dukungan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial.

Dalam tataran ini, terlihat keinginan Wallerstein bahwa ada hubungan dialektis antara pengetahuan dan realitas. Pengetahuan yang dikonstruksikan dari realitas pada gilirannya memengaruhi realitas itu sendiri; dan perubahan di dalam realitas akan mampu memberi vibrasi dalam merekonstruksi pengetahuan.

Pada situasi seperti inilah, sebenarnya, sastrawan memiliki peran. Sebuah peran yang bisa memberikan kontribusi positif bagi penulisan sejarah dalam bentuk fiksi. Dan inilah yang antara lain diinginkan Asvi Warman Adam (Kompas, 22/12).

Salah satu fakta yang bisa diapungkan dalam konteks sastra sejarah adalah kehadiran sastrawan Nur Sutan Iskandar. Iskandar pada kurun tahun 1934 memberi bukti mungkinnya penulisan novel sejarah yang berpijak pada keselarasan antara bahasa dan pikiran, antara realitas teks sastra dan realitas teks sejarah.

Tengoklah novel Hulubalang Raja dan novel Mutiara yang ditulis Nur Sutan Iskandar. Atau novel AA Pandji Tisna, I Swasta Setahun di Bedahulu, yang cukup berhasil mengangkat zaman Udaya yang mengambil latar lokal Bali. Juga novel Zaman Gemilang dan Cincin Permata dari Kamboja yang ditulis Matu Mona tentang Raden Wijaya dan sekitar kisah awal kerajaan Majapahit. Bahkan, cerita yang disodorkan Matu Mona mampu menjadi pendorong rakyat untuk mengusir bala tentara Kublai Khan.

Pramoedya Ananta Toer juga bisa dicatat sebagai sastrawan yang mampu melampirkan teks-teks sejarah ke dalam teks-teks sastra. Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia adalah contoh penting di mana bahasa mampu berfungsi dalam mendefinisikan kehidupan dirinya dalam dua dunia; sastra dan sejarah.

Ternyata jawaban untuk konteks sastra sejarah terletak pada kemampuan mengelola bahasa dan pikiran yang selalu berdiri dalam dua petak yang berbeda. Fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Pada titik inilah sebagian sastrawan Indonesia yang menulis fiksi yang bersandar pada realitas sejarah tak cukup cermat mengawinkan kedua faktor penting itu.

Edy A Effendi, Pengajar Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; dan Direktur Eksekutif Lab Teater Syahid . Dimuat HarianUmum Kompas, 5 Januari 2008